Sabtu, 28 Agustus 2010

Seafood Dalam Jeratan Prestis, Mitos, dan Gaya Hidup

Ancaman terbesar bagi dunia kelautan adalah penangkapan berlebihan (overfishing), selain itu pola konsumsi yang tidak cerdas dapat menciptakan permintaan yang tinggi akan spesies-spesies yang seharusnya dikurangi tingkat konsumsinya atau bahkan tidak dikonsumsi sama sekali seperti Ikan Napoleon, hiu dan semua produk-produk turunannya, serta penyu dan semua produk-produk turunannya.

Penelitian seorang doktor dari Unversitas Aberdeen mengungkapkan bahwa hiu peka akan perubahan gelombang permukaan, dan perubahan suhu. Dengan kepekaannya ini, hiu sebagai salah satu biota laut yang menempati rantai makanan paling atas, ternyata mampu mendeteksi badai. Hiu sangat sensitif dalam mendeteksi perubahan tekanan udara, sehingga gejala awal pembentukan badai dari perubahan tekanan udara di permukaan laut dapat ditengarai dari perilaku hewan tersebut.

Kemampuan hiu tersebut ternyata tidak mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari badai perdagangan sirip hiu. Sebanyak 8000 ton sirip hiu diperdagangkan setiap tahunnya di seluruh dunia, yang berarti kepunahan bagi banyak spesies hiu serta ancaman bagi keberlangsungan keseimbangan ekosistem laut karena terganggunya rantai makanan. IUCN menyebutkan sebanyak 16 dari 21 jenis hiu mengalami kepunahan akibat perburuan ilegal dan tangkap-lebih. Salah satu motif konsumsi sirip hiu adalah prestis, mitos awet muda, mitos kandungan obat, serta mitos-mitos lainnya yang tidak pernah terbukti secara medis.

Selain mitos, gaya hidup masyarakat penggemar seafood turut mengantar beberapa jenis ikan eksotis pada kepunahan. Semakin langka satu jenis ikan, semakin sulit ikan itu dicari, semakin mahal harganya, maka semakin bangga pula manusia yang mampu membelinya. Kerapu tikus atau kerapu bebek (Barramundi cod) sudah sulit ditemukan oleh penyelam rekreasi, namun masih bias ditemukan dalam aquarium di beberapa restoran yang menjualnya dengan harga tujuh ratus ribu rupiah atau lebih per kilogram.

Penyu juga mengalami situasi yang sama sulitnya dengan hiu. Perburuan daging dan telur penyu, serta tangkapan-sampingan (by-catch) telah mengurangi populasi hewan ini secara drastis. Tangkapan-sampingan pada penyu banyak terjadi pada perikanan tuna rawai (long line) yang masih menggunakan jenis pancing J (J-hook), dan pukat udang. WWF dalam pernyataan pers baru-baru ini menyampaikan bahwa “Solusi masalah ini sudah tersedia, yaitu penggunaan Turtle Excluder Device (TED) untuk perikanan pukat udang dan pancing lingkar atau circle hook untuk perikanan tuna long-line," ujar Wawan Ridwan, Direktur Program Kelautan WWF-Indonesia. "TED sudah diatur penggunaannya, tapi pengawasannya masih kurang. Sedangkan circle hook harus segera diwajibkan penggunaannya, karena mampu mengurangi by-catch penyu sampai 85% dibandingkan pancing tuna biasa," lanjutnya.

Penegakan hukum oleh aparat diharapkan dapat menjadi solusi yang berjalan paralel dengan inovasi di bidang perikanan. Data pada tahun 2007 menyebutkan sebanyak 184 kapal yang ditangkap dari 2.207 kapal yang diperiksa, 89 diantaranya merupakan kapal dengan bendera asing sedangkan 95 sisanya merupakan kapal berbendera Indonesia. Dari penangkapan tersebut diselamatkan aset negara dan lingkungan sebesar Rp. 439.6 Miliar. (aul/ds)


Sumber :
http://wwfid.panda.org/tentang_wwf/upaya_kami/marine/publication/newsarchive/?1660
16 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar