Sabtu, 28 Agustus 2010

Mengembangkan Bisnis Seafood



KOTA Pati yang berada di jalur pantura, sebenarnya merupakan wilayah strategis yang menyimpan banyak potensi ekonomi yang belum tergali maksimal. Potensi yang paling mudah digali dan dikembangkan tentu yang berkaitan dengan pendapatan masyarakat nelayan, misalnya pengolahan hasil laut untuk dikonsumsi warga kota sendiri.

Agak aneh jika sampai sekarang di Kota Pati masih sulit ditemukan warung makan dengan menu khusus seafood yang buka selama 24 jam, padahal kondisi lalu lintas selalu padat sepanjang siang malam. Selain itu, di Pati ada banyak nelayan dan petambak dengan hasil laut yang dapat diserap di kota sendiri untuk menambah gizi.

Selama ini, hasil laut dan tambak hanya diserap di pasar-pasar tradisional, selain diimpor sebagai produk olahan. Dalam hal ini, semakin tinggi nilai impor produk olahan hasil laut dan tambak semakin memperkecil suplai gizi bagi masyarakat kita sendiri.

Kemiskinan nelayan-nelayan Pati (juga di daerah-daerah lain), bisa jadi karena kelangkaan warung makan seafood di tiap-tiap kota, melainkan juga karena sebagian hasil laut diimpor dengan harga yang murah.

Jika misalnya warung makan seafood banyak dibuka selama 24 jam di banyak sudut kota di Pati (khususnya sepanjang jalur pantura), nilai tawar harga hasil laut akan semakin tinggi, yang berarti dapat meningkatkan taraf hidup nelayan setempat.

Kendala Duri

Jika dicermati, masyarakat sebenarnya membutuhkan gizi yang tinggi, dan sumber gizi yang tinggi yang paling mudah diperoleh adalah seafood. Dan jika seafood kurang diminati masyarakat, kendalanya hanya terletak di duri yang terdapat di setiap ikan. Atau banyak orang (terutama balita) yang cenderung tak bisa mengonsumsi seafood karena dikhawatirkan klelegen duri.

Kendala duri ini, sekarang sudah dapat diatasi dengan mudah, sejak ditemukan teknik olahan presto. Dan telah terbukti, banyak orang yang semula sungkan menikmati kelezatan ikan bandeng karena kendala duri, kini telah menjadi suka menikmati ikan bandeng presto (yang durinya sudah menjadi lunak dan aman untuk disantap oleh konsumen segala usia).

Dengan demikian, jika warung makan seafood bisa dibuka sebanyak-banyaknya selama 24 jam di Pati (juga di kota-kota lain di sepanjang jalur pantura) sebaiknya memanfaatkan teknik olahan presto. Sebab, selain ikan bandeng, semua jenis ikan laut juga bisa diolah dengan teknik presto agar konsumen tidak khawatir klelegen duri lagi.

Dalam praktiknya, teknik olahan presto untuk mengatasi kendala duri bukan hal yang rumit dan mahal. Karena itu, tidak ada alasan lagi kekurangan modal untuk membuka sebanyak mungkin warung makan seafood dengan teknik olahan presto.
Bisnis Nelayan Bagi Pemkab Pati khususnya, selayaknya lebih peduli akan kebutuhan suplai gizi masyarakatnya sendiri dengan memanfaatkan sumber alam milik sendiri yang berlimpah di laut, agar kondisi kesehatan masyarakat menjadi lebih baik dan nasib nelayan juga semakin membaik.

Dalam hal ini, Pemkab Pati layak mengalokasikan dana untuk membuka warung makan seafood selama 24 jam.

Mungkin Pemkab Pati dapat membentuk Lembaga Bisnis Nelayan yang khusus untuk mengembangkan bisnis seafood.

Modalnya mungkin bisa dari kredit Usaha Kecil Menengah (UKM) yang kini tersedia di hampir semua bank pemerintah maupun bank-bank swasta dengan bunga rendah.

Dengan adanya Lembaga Bisnis Nelayan khusus untuk mengembangkan bisnis seafood, masyarakat nelayan tentu berpeluang meningkatkan hasil laut dengan membuka budidaya udang air laut maupun jenis-jenis ikan laut yang dapat diternakkan di tambak-tambak dalam format mini.

Selama ini mayoritas nelayan hanya mengandalkan usaha penangkapan ikan tanpa pernah mampu membuka tambak-tambak dengan format mini karena tidak ada modal. Akibatnya, kemiskinan selalu melingkupi kehidupan mereka.
Generasi Formalin Kemarakan isu formalin yang meluas hingga ke sektor nelayan yang menghebohkan beberapa waktu lalu, agaknya juga berkaitan dengan langkanya warung makan seafood di Pati dan di kota-kota lain di sepanjang jalur pantura. Sebab, banyak nelayan terpaksa menggunakan formalin karena ketertutupan pasar terdekat yang mampu menyerap hasil tangkapan mereka.

Dan berkaitan dengan isu formalin, sebenarnya ada masalah penting yang luput dari perhatian banyak pihak, yakni masalah suplai gizi bagi balita dan anak-anak kita yang kini semakin dikepung produk-produk olahan pabrik yang nota bene lebih riskan.

Misalnya, balita dan anak-anak setiap hari mengonsumsi berbagai produk makanan ringan (snack) dengan bahan-bahan pengawet, pewarna, pemanis dan pelezat buatan.

Jika misalnya di Kota Pati (dan semua kota di jalur pantura) banyak seafood disajikan dalam bentuk presto maka balita dan anak-anak kita tentu akan terbiasa mengonsumsi berbagai hasil laut yang bergizi tinggi sehingga mereka tidak semakin terbiasa mengonsumsi produk-produk olahan pabrik yang gizinya rendah dengan tingkat risiko yang cenderung tinggi untuk jangka panjang.

Dengan demikian, bisnis warung makan seafood memang perlu dikembangkan sebanyak-banyaknya di Pati dan di semua kota lain di Jawa Tengah. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga layak mendukung permodalan yang diperlukan.(35)

—AsmadjiAS Muchtar, koordinator Forum Multi-Studies dan pelaku bisnis seafood


Sumber :
Asmadji AS Muchtar
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/03/23/56906/Mengembangkan.Bisnis.Seafood.
23 Maret 2009


Sumber Gambar :

http://www.safespectrum.com/images/seafood.jpg
http://www.stratfordbar.com/seafood.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar